Kumpulan Informasi Penting Untuk Indonesia

"Cinta Realistis Itu Bagaikan Memelihara Kumis"

Masa SMP akhirnya usai juga. Duh, aku benci masa SMP. Teman-temanku rata-rata masih kekanak-kanakan. Atau memang aku yang udah terlalu dewasa ya? Entahlah. Yang jelas aku sudah meninggalkan permainan kartu 'Yugi-Oh!' sejak SMP kelas satu, namun teman-temanku malah merayakan selesainya Ujian Akhir Nasional dengan mengadakan perang akbar 'Yugi-Oh!' Itu cukup membuatku merasa masa SMP itu gak 'gue banget.' Ingin cepat-cepat SMA rasanya.

Akhirnya masa SMA telah datang. Di masa SMP aku berpikir bahwa SMA akan menyenangkan seperti yang disenandungkan banyak lagu, ditulis di banyak cerpen, dan dibicarakan semua orang tua. Namun ternyata aku salah, atau setidaknya momen itu belum terjadi. Di awal, yang dilakukan hanyalah adaptasi dengan lingkungan sekolah. Mulai dari teman seangkatan, kakak tingkat, guru, hingga semua staf, satpam, dan penjaga kantin. Biasa aja ternyata.

Namun bagai oase di tengah gurun Kalahari, dari semua proses adaptasi sekolah yang menjemukan, ternyata aku menyadari bahwa bagian resepsionis sekolah menyimpan hal menarik. Bukan berarti aku tertarik menjadi resepsionis, namun aku suka sama si kakak resepsionis.
 
Kebetulan saat itu sekolah mengangkat resepsionis dari lulusan SMK, dan si kakak resepsionis yang ternyata baru lulus SMK, adalah yang paling 'segar' di antara semua staf yang merupakan bapak-bapak maupun ibu-ibu. Lagian tak ada yang lebih disukai oleh pelajar SMA selain cewek yang tak pakai seragam bukan? Ya. Kami bosan melihat cewek berseragam tiap hari.

Selain itu, kakak itu memang cantik banget. Mungkin momen itu adalah pertama kalinya aku melihat seseorang yang cantik selain di televisi. Bahkan aku menganggap si kakak lebih cocok main sinetron ketimbang sekedar jadi resepsionis. Aku merasa peran Fitri di 'Cinta Fitri' lebih cocok diperankan si kakak ketimbang Shireen Sungkar. Atau, yaudah deh gapapa Shireen aja, aku juga ga mau liat si kakak resepsionis nangis setiap saat gara-gara dijahatin orang gila harta. Huh.

Eh iya maaf. Ketika itu Cinta Fitri adalah sinetron yang sedang booming di televisi. Anyway, balik ke cerita tadi.

Setelah itu, jadinya aku malah kesal, karena si kakak resepsionis yang cantik itu, ternyata disukai semua anak di sekolah. Bahkan dia sering digoda-goda oleh staf di sekolah. Sepertinya satu-satunya orang yang tak menggoda si kakak adalah bapak kepala sekolah yang kumisnya lebih lebat dari Pak Raden. Itupun karena istrinya juga salah satu guru di sekolah. Atau karena dia insecure dengan kelebatan kumisnya sendiri, tak ada yang tahu.

By the way, kumis bapak kepala sekolah adalah bahan 'gunjingan' dan bercandaan paling hot di sekolah. Hal itulah yang membuat kepala sekolah yang seharusnya punya gambaran yang seram, justru sama sekali tidak karena bentuk kumisnya yang lucu.

Anyway...

Meski banyak yang naksir, namun aku ga menyerah begitu saja. Atau sejujurnya, cuma aku orang yang berpikiran untuk 'ngejar' dia. Semua orang cuma jadi pemuja rahasia si kakak. Namun aku bergerak maju. Pergerakan pertamaku adalah, pura-pura sakit.

Hmmm memang sih, pura-pura sakit adalah hal yang bodoh. Tapi dari pura-pura sakit lah aku bisa dapat nomor ponselnya untuk ijin tidak masuk sekolah. Bukan hal yang smart-smart banget, tapi it works. Aku dapat nomor ponselnya, bahkan jadi sering ke rumah si kakak. Untuk mengantar surat ijin sakit, sih. Tapi gapapa. Yey! hidup pura-pura sakit!

Semakin sering bolos, makin sering pula kami berkesempatan ngobrol. Sampai akhirnya aku kumpulkan keberanian untuk ngajak dia jalan, dan dia mau. Usut punya usut, dia ternyata memang suka sama 'brondong' karena dia bosan pacaran sama yang lebih dewasa. Menurutnya, "tak ada yang bisa memahami sifat kekanak-kanakannya." Tapi apapun alasannya, aku sih senang bisa jalan dengan kakak tercantik di sekolah, dan aku pun merasa sangat beruntung jadi 'brondong' yang disukainya.

Akhirnya kami jalan. Well, 'jalan' secara harfiah karena kami berdua tak punya motor. Dan karena domisili kami di Singaraja, tak banyak tempat juga yang bisa dikunjungi. Meski di Bali, Singaraja tak terlalu seperti Bali yang diasumsikan orang. Cuma ada satu pantai yang biasa-biasa aja, dan sebuah pelabuhan yang diisi anak trek-trekan. Walhasil kami paling sering hanya jajan mie ayam di gang dekat sekolah.

Cuma makan mie ayam tak membuatku kurang bahagia kok. Justru, makan mie ayam bersama orang tercantik yang ada di sekolah itu bikin mie ayam rasanya seperti Spaghetti Bolognaise yang dijual di restoran milik Gordon Ramsay. Enak.

Makin lama, kami makin dekat, namun kami tidak jadian. Sepertinya kecanggungan yang tercipta akibat perbedaan umur yang hampir empat tahun membuat kami hanya ingin 'happy-happy' saja tanpa ikatan.

Berbeda dengan kenyataan yang kami hadapi, rumor bahwa kami berpacaran menyebar di sekolah. Yap, rumor seorang siswa baru berpacaran dengan resepsionis bukan rumor yang menyenangkan tentunya.

Sejak rumor tersebut beredar, siswa-siswa lain melihatku selalu dengan pandangan aneh. Seakan-akan aku telah berbuat dosa hina yang tak terampuni Tuhan. Oooh, mungkin ini ya perasaan pak kepala sekolah ketika melihat para siswa yang menggunjingkan kumisnya. Bedanya, gunjingan yang tertuju padaku ini sama sekali bukan hal yang lucu.

Sampai akhirnya rumor ini tercium oleh sang kepala sekolah sendiri, dan beliau marah besar. Sudah jadi peraturan di sekolah jika staf tak boleh berpacaran dengan siswa. Kami berdua dipanggil ke ruang kepala sekolah, yang berisi wakil kepala sekolah, guru BP, wali kelas, dan beberapa staf yang entah punya kepentingan apa ada di sana. Mungkin mereka cuma barisan sakit hati.

Tanpa banyak basa-basi, bapak kepala sekolah bertanya pada kami: "Kalian pacaran?"

Seketika si kakak resepsionis menjawab dengan jawaban lantang: "iya pak."

Saat itu, aku sangat kaget. Kami kan belum pacaran. Namun si kakak ternyata menganggap aku pacarnya. Hari itu resmi jadi hari paling bahagia dalam hidupku.

Atau paling buruk.

Pasalnya, kepala sekolah memberikan dua opsi. Yakni kami harus putus atau kakak resepsionis dipecat secara tidak hormat. Tak ada pilihan lain, kami putus tanpa pernah sekalipun mengikatkan diri dalam ikatan pacaran sebelumnya. Si kakak diskors selama seminggu dan hubungan cinta kami layaknya kumis kepala sekolah, jadi bahan gunjingan seantero sekolah.

Setelah kejadian itu, kami masih sering bertemu untuk jajan mie ayam, namun akhirnya kami memutuskan untuk tidak bertemu lagi demi kebaikan bersama. Aku bahkan sempat berjanji kalau aku akan bersemangat untuk segera lulus SMA dan kami akan balikan pas aku sudah menginjak bangku perguruan tinggi.

Kisah ini terjadi tujuh tahun lalu. Memasuki tahun ke lima perkuliahan ini, aku baru saja menyelesaikan PKL. Kakak resepsionis? Dia kini sudah menikah dengan seseorang yang lebih dewasa ketika aku masih kelas XII sekitar 5 tahun lalu. Aku tidak kecewa akan pernikahannya. Satu-satunya yang mengkhianatiku adalah, ternyata dia tak beneran 'kekanak-kanakan.' Karena meski dia bilang 'ya' akan janji kami dulu, ternyata dia berubah pikiran ke arah yang lebih realistis.

Mungkin si kakak menyadari kalau mengambil keputusan yang sama terus-menerus tanpa perubahan ke arah yang realistis, ternyata tak akan jadi baik. Sama seperti keputusan bapak kepala sekolah untuk terus-menerus memelihara kumis Pak Raden miliknya, yang akhirnya membuat dirinya jadi bahan bercandaan oleh seluruh siswa.

Namun siapa sangka ya ternyata kumis baplang 'booming' lagi di 2016 ini. Wah, kepala sekolahku memang visioner. Tak beda dengan Si kakak resepsionis yang ternyata juga visioner, karena tahu di masa depan aku masih belum lulus kuliah padahal sudah semester tua. Hiks.
-Sekian-

Itu tadi adalah sebuah cerpen yang dibuat berdasarkan cerita unik dari pembaca jelajahsehat.com yang tidak mau disebut namanya, yang sekarang sedang kuliah Sastra Inggris di Jakarta.

Sumber : jelajahsehat.com
Tag : Motivasi
Back To Top